Saya tidak bisa membayangkan hari tanpa secangkir kopi. Aroma khasnya selalu jadi penyemangat baik itu pada pagi maupun sore hari.
Kalau bicara soal kopi, sebenarnya ada dua jenis yang paling sering kita dengar: arabika dan robusta. Arabika biasanya tumbuh di dataran tinggi, punya aroma yang lebih kompleks, dan cita rasa yang cenderung lebih lembut. Sementara robusta lebih tahan banting, bisa tumbuh di dataran rendah, dan rasanya lebih kuat, pahit, dengan kandungan kafein yang lebih tinggi.
Buat saya pribadi, arabika selalu jadi pilihan utama. Alasannya sederhana: rasa asamnya yang segar justru bikin nikmat, apalagi kalau diseduh manual brew. Berbeda dengan robusta yang cenderung pahit, arabika terasa lebih ringan di lidah dan punya karakter rasa yang lebih bervariasi—kadang ada sentuhan fruity atau floral yang bikin pengalaman minum kopi jadi lebih seru.
Mungkin karena itu saya merasa lebih cocok dengan arabika. Saat ingin fokus kerja atau sekadar menikmati waktu santai, secangkir arabika rasanya pas banget. Tidak bikin lidah kaget dengan pahit berlebih, tapi tetap memberikan sensasi kopi yang “hidup” lewat keasaman dan aromanya.
Selain soal rasa, kafein juga jadi alasan kenapa saya nggak bisa jauh-jauh dari kopi. Robusta memang punya kadar kafein lebih tinggi, tapi justru arabika dengan kadar kafein yang lebih rendah terasa lebih pas buat saya. Efeknya cukup bikin fokus tanpa bikin jantung berdebar berlebihan. Rasanya lebih bersahabat, terutama kalau harus bekerja berjam-jam di depan laptop.
Karena itu saya punya kebiasaan minum setidaknya segelas kopi arabika setiap hari. Bukan cuma soal rutinitas, tapi lebih ke momen kecil untuk recharge energi dan pikiran. Begitu menyeruput arabika dengan rasa asam yang segar, biasanya ide-ide lebih gampang mengalir dan kerjaan jadi terasa lebih ringan.
***
Berita tentang ekspor kopi dari Cikajang, Garut terasa sangat dekat bagi saya. Bayangkan, kopi yang mungkin suatu hari saya minum di kafe kota besar ternyata berasal dari tangan-tangan petani di sebuah desa di kaki Gunung Papandayan.
Melansir postingan Instagram @paguyubandsakba, sebuah acara digelar di Desa Mekarsari, Cikajang, Kabupaten Garut. PT Astra International Tbk. bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor melepas ekspor kopi senilai Rp4 miliar ke Belanda. Bukan main, dua kontainer penuh—satu arabika, satu robusta—dikirim langsung dari desa.
Kopi ini berasal dari Desa Sejahtera Astra (DSA) Cluster Kopi Cikajang. Bagi saya, ini bukti nyata bahwa kopi terbaik tidak selalu datang dari perkebunan besar, tetapi bisa lahir dari semangat kolektif desa.
Yang menarik, acara pelepasan ini tidak hanya soal kopi. Ada juga penyerahan bantuan sarana produksi kepada petani yang kebanyakan dari generasi milenial seperti saya. Saya suka sekali istilah petani milenial ini. Mereka adalah generasi yang memilih bertani bukan karena keterpaksaan, tapi karena melihat peluang. Dengan alat produksi baru, mereka bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas panen.
Selain itu, ada berbagai agenda penting lain: penandatanganan prasasti Gapura DSA, launching program Wibasa (Wiratani Bangun Desa), hingga penanaman bibit hutan karbon produktif. Artinya, kopi Cikajang tidak hanya bicara soal ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan.
Saya membayangkan, setiap tegukan kopi dari Garut ini bukan hanya menyuguhkan rasa pahit-manis yang khas, tapi juga cerita panjang tentang kerja keras petani muda, dukungan lembaga, hingga kolaborasi lintas pihak. Dari desa kecil di Garut, kopi ini bisa menembus pasar Eropa.
Sebagai penikmat kopi, saya merasa bangga. Karena kopi yang saya minum bukan sekadar minuman, melainkan simbol transformasi desa, regenerasi petani, dan semangat Indonesia untuk mendunia.